Pengumpulan data catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan
CATAHU tahun
ini UPPA (lembaga dibawah kepolisian) menempati urutan tertinggi pertama
penerimaan yaitu sebanyak 4.124 kasus, tahun lalu urutan pertama ditempati
DP3AKB (lembaga di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak), disusul
di posisi kedua laporan melalui WCC/LSM/OMS (lembaga non pemerintah) 3.510
kasus dan tempat ketiga P2TP2A 2.821 kasus.
Banyaknya kasus yang dilaporkan ke UPPA yang
adalah dibawah lembaga kepolisian dapat diartikan bahwa masyarakat membutuhkan
lembaga atau institusi yang legal dan memiliki payung hukum. Lembaga kepolisian
secara insfrastuktur ditempatkan di berbagai wilayah sampai ke tingkat
kecamatan sehingga mudah dijangkau. Namun disisi lain, dapat dilihat minimnya
jumlah kasus yang di proses di Pengadilan Negeri (PN), yang dapat diartikan
proses hukum mengalami kemandegan, bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan
masih terhambat penanganan dan penyelesaiannya secara hukum, oleh karena itu
perlu implementasi monitoring dan evaluasi implementasi UU Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Untuk kasus kasus kekerasan seksual, masih diperlukan UU khusus
mengenai Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan ke Komnas Perempuan menunjukkan bahwa satu kasus proses hukumnya
berjalan selama bertahun-tahun, misalnya satu kasus KDRT yang dilaporkan sejak
tahun 2016 hingga tahun 2020 masih berjalan.
Angka Kekerasan Berdasarkan Data
Provinsi
Sementara angka kekerasan terhadap perempuan
berdasarkan Provinsi yang tertinggi berbeda dengan tahun sebelumnya, tahun ini
Jawa Barat menjadi tertinggi (2.738) lalu Jawa Tengah (2.525) DKI Jakarta
(2.222). Tahun sebelumnya angka kekerasan tertinggi adalah Jawa Tengah (2.913),
kedua DKI Jakarta (2.318) dan ketiga Jawa Timur (1.944), tetapi tingginya angka
tersebut belum tentu menunjukkan banyaknya kekerasan di Provinsi tersebut.
Komnas Perempuan melihat tingginya angka berkaitan dengan jumlah tersedianya
Lembaga Pengada Layanan di Provinsi tersebut serta kualitas dan kapasitas
pendokumentasian Lembaga.
Angka Kekerasan Berdasarkan Ranah
Personal (RP), Komunitas dan Negara
Komnas Perempuan membuat kategorisasi
berdasarkan ranah pribadi, komunitas dan negara untuk menggambarkan bagaimana
kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam hubunganhubungan kehidupan
perempuan dengan lingkungannya, baik di ruang pribadi, di ruang kerja atau
komunitas, di ruang publik dan negara. Melalui kategorisasi ini dapat
menjelaskan ranah mana yang paling berisiko terjadinya kekerasan terhadap
perempuan.
Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap
Perempuan dalam Perkawinan dan Hubungan Pribadi
Bentuk-bentuk tersebut adalah kekerasan
terhadap istri (KTI), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan terhadap anak
perempuan berdasarkan usia anak (KTAP), kekerasan yang dilakukan oleh mantan
suami dan mantan pacar, kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah tangga, dan
ranah personal lainnya.
CATAHU tahun 2020 terdapat catatan khusus
dalam diagram di atas, Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) melonjak
sebanyak 2.341 kasus, tahun sebelumnya sebanyak 1.417. Kenaikan dari tahun
sebelumnya terjadi sebanyak 65%. Sementara KTI dan KDP secara konsisten
meskipun KTI terdapat sedikit kenaikan, dan KDP penurunan 14% dari tahun
sebelumnya dari 2.073 kasus menjadi 1.815 kasus. Kenaikan 65% kekerasan
terhadap anak perempuan menjadi pertanyaan besar bagi Komnas Perempuan
kekerasan terhadap anak perempuan paling
banyak dilaporkan ke DP3AP2KB sebanyak 717 kasus dan disusul P2TP2A sebanyak
695 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap istri paling banyak dilaporkan ke
UPPA sebanyak2.307 kasus disusul WCC dan LSM sebanyak 1.700 kasus. Kekerasan
dalam pacaran dilaporkan paling banyak ke UPPA sebanyak 557 kasus dan P2TP2A
sebanyak 404 kasus.
Kekerasan Seksual dalam Ranah
Personal/Privat
Hal yang menjadi catatan dibandingkan tahun
lalu, kekerasan berbasis cyberbertambah dari 7 kasus menjadi 35 kasus.
Peningkatan kekerasan berbasis cyber perlu dilihat sebagai pola baru yang belum
memiliki perlindungan dan keamanan dalam dunia internet, terutama terhadap
perempuan.Hal kedua yang menjadi catatan adalah tentang inses dan marital rape,
salah satu bentuk-nya adalah pemaksaan hubungan seksual sado masokis dan anal
seks suami kepada istri.
Kekerasan seksual dalam bentuk inses ini
paling banyak dilaporkan ke P2TP2A. Sementara itu cybercrime paling banyak
dilaporkan ke WCC/LSM sebanyak 27 kasus, menunjukkan belum adanya kesiapan
lembaga pemerintah dalam layanan kasus cyber.
Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah
Publik atau Komunitas
Komnas Perempuan melalui data lembaga
layanan, menemukan bentuk dan jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah
komunitas. Ranah komunitas biasanya adalah di lingkungan kerja, bermasyarakat,
bertetangga, ataupun lembaga pendidikan atau sekolah. Pada ranah komunitas ada
kategori khusus pekerja migran dan trafiking. Khusus pekerja migran dan
trafiking terjadi kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu trafiking dari
158 menjadi 212, dan pekerja migran dari 141 menjadi 398. Jenis dan bentuk
kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah sama seperti
tahun lalu kekerasan seksual yang paling menempati posisi pertama, di mana
perbedaannya adalah jika tahun lalupencabulan menempati urutan pertama, tahun
2019 perkosaan ada di urutan pertama sebanyak (715 kasus), lalu pencabulan (551
kasus) dan Pelecehan Seksual (520), diikuti oleh persetubuhan sebanyak 176
kasus. Istilah persetubuhan dan pencabulan masih banyak digunakan terutama oleh
Kepolisian, PN, dan lembaga layanan berbasis pemerintah, hal ini disebabkan
dasar hukum yang biasa digunakan adalah KuHAP. Pencabulan dan persetubuhan bisa
jadi adalah lingkup pelecehan seksual yang tidak ada rujukan hukumnya dimana
biasanya korbannya adalah anak perempuan.
Kesimpulan
1. Kecenderungan Kekerasan
Seksual terjadi pada relasi pacaran dengan latar belakang pendidikan paling
tinggi SLTA, baik sebagai korban maupun pelaku. Kondisi ini disebabkan
kurangnya pemahaman seksualitas dan kesehatan reproduksi di usia seksual aktif
sehingga perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu
pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (Pendidikan Seksualitas
Komprehensif) dalam kebijakan pendidikan di indonesia sangat dibutuhkan.
2. Data CATAHU selama 3 tahun terakhir menemukan bahwa ada pelaku usia
anak, jika dibagi dengan penduduk usia yang sama, 7 anak per 1.000.000 usia
anak kurang dari 18 tahun berpotensi menjadi pelaku per tahun. Dengan kata lain
setiap hari rata-rata dua anak menjadi pelaku kekerasan.
3. Perempuan Pembela HAM rentan terhadap kriminalisasi, stigma komunis,
liberal, murtad, dan makar/ ekstrimis akibat ketiadaan Mekanisme Perlindungan
Perempuan Pembela HAM.
4. Kasus kekerasan terhadap anak perempuan di ranah personal didominasi
oleh kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat korban (ayah kandung,
ayah angkat/ tiri, dan paman).
5. Angka kekerasan terhadap perempuan yang didokumentasikan oleh
lembaga layanan milik pemerintah dan organisasi non pemerintah masih didominasi
lembaga layanan di wilayah Jawa. Sementara wilayah di luar Jawa memberikan
konstribusi yang masih rendah yang berdampak minimnya pencatatan dan
pendokumentasian data kekerasan di wilayah tersebut.
Rekomendasi
1. Mendorong Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama memasukkanPendidikan Kesehatan
Reproduksi dan Seksualitas (Pendidikan Seksualitas Komprehensif) ke dalam
kurikulum yang dimulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan
menengah sesuai tujuan 3, 4 dan 5 SDG’s.
2. Dalam upaya menjamin perlindungan perempuan pembela HAM;
a. Mendesak Kementerian
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan dan KementerianHukum dan HAM menjamin
perlindungan perempuan pembela HAM melaluiMekanisme Perlindungan Perempuan
Pembela HAM.
b. Komnas HAM membentuk dan
mengefektifkan desk perempuan pembela HAM.
c.
Mendorong Komisi III DPR RI
merevisi UU HAM dengan memasukkan mekanisme perlindungan perempuan pembela HAM.
3. Komnas Perempuan mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
PerlindunganAnak:
a.
Menyusun dan mengefektifkan pendidikan
adil gender sebagai bagian dari pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
secara khusus dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dalam
keluarga.
b.
Membangun kerjasama dengan
lembaga terkait untuk meningkatkan kapasitas lembaga layanan di daerah secara
khusus untuk pencatatan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan
serta memastikan alokasi anggaran di daerah terluar, terdalam dan tertinggal
seperti Indonesia Timur dan daerah-daerah kepulauan
Komentar
Posting Komentar